Bismillahirrahmaanirrahiim
Aku mencintai suamiku karena sifatnya yang apa
adanya dan begitu menyukai perasaan aman dan tentram yang muncul di hati ketika
bersanding dengannya. Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam
masa perkawinan, harus aku akui bahwa mulai timbul rasa bosan dan lelah dengan
kehidupan berumahtangga dengannya dan alasan-alasan mencintainya dulu telah
berubah menjadi sesuatu yang sesuatu yang menjemukan.
Aku seorang wanita yang berjiwa sentimentil dan
benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Aku merindukan saat-saat romantis
seperti seorang anak yang menginginkan belaian. Tetapi semua itu tidak lagi aku
peroleh. Suamiku kini jauh berbeda dari apa yang aku harapkan dulu. Rasa
sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang
romantis dalam perkawinan kami telah memusnahkan semua harapan tentang
kehidupan cinta yang ideal.
Suatu hari, aku beranikan diri untuk menyatakan
keputusan untuk bercerai!! “Mengapa?”, dia bertanya dengan terkejut. “Aku
lelah, kamu tidak pernah memberikan cinta yang aku inginkan.” Dia terdiam dan
termenung sepanjang malam di depan komputernya, nampak seolah-olah sedang
mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan aku semakin bertambah, seorang
lelaki yang tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang dapat aku
harapkan darinya?
Dan akhirnya ia pun berkata. “Apa yang dapat aku
lakukan untuk mengubah keputusanmu itu?”.
Aku menatap matanya dalam-dalam dan menjawab
dengan perlahan, “Aku ada satu pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya,
aku akan mengubah keputusanku. Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah
yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kau memanjat gunung itu,
kau akan mati. Apakah kau akan melakukannya untukku..?” Dia pun termenung dan
akhirnya berkata, “Aku akan memberikan jawabannya besok pagi.” Hatiku langsung
gundah mendengar reaksinya.
Keesokan paginya, kulihat suamiku tidak berada
di rumah, dan aku menemukan selembar kerta dengan coretan tangannya di bawah
sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan.. “Sayang, aku tidak akan
mengambil bunga itu untukmu, tetapi izinkan aku untuk menjelaskan alasannya”
Kalimat pertama ini menghancurkan hatiku.
Aku lantas terus membacanya. “Sayang kau biasa
menggunakan komputer dan selalu menghadapi masalah kerusakan program di
dalamnya dan akhirnya menangis di depan monitor, aku harus memberikan
jari-jariku supaya dapat membantumu dan memperbaiki programnya.” “Kau selalu
lupa membawa kunci rumah ketika keluar rumah, dan aku harus memberikan kakiku
supaya dapat menendang pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.”
“Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu tersesat di tempat-tempat
baru yang kamu kunjungi. Aku harus menunggu di rumah agar dapat memberikan mataku
membantumu mengarahkan jalan untukmu melalui peta.”
“Kamu selalu kelelahan pada waktu teman baikmu
datang setiap bulan, dan aku harus memberikan tanganku untuk memijit kakimu
yang terkilir.” “Kamu seorang yang suka diam dirumah, dan aku selalu khawatir
kamu akan menjadi ‘aneh’. Dan aku harus membelikan sesuatu yang dapat
menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu
yang aku alami.” “Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak
baik untuk kesehatan matamu, aku harus menjaga mataku agar ketika kita tua
nanti, aku masih dapat menolong memotong kukumu dan mencabuti ubanmu.”
“Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu
menyusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan
warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu”. “Tetapi
sayangku, aku tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, aku tidak
sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku..” “Sayangku, aku
tahu, di luar sana ada banyak orang yang mampu mencintaimu lebih dari aku
mencintaimu…”
“Untuk itu sayangku, jika semua yang telah
kuberikan dengan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu, Aku tidak dapat
menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”
Air mataku jatuh di atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi
aku tetap berusaha untuk membaca kelanjutannya…
“Dan sekarang sayangku….. kamu telah selesai
membaca penjelasanku ini. Jika kau berpuas hati dengan semua jawaban ini, dan
tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah
kita, aku sekarang sedang berdiri di luar pintu menunggu jawabanmu” “Jika kamu
tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk mengambil barang-barangku, dan
aku tidak akan menyusahkan hidupmu lagi. Percayalah, kebahagiaanku adalah
apabila kau bahagia.”
Aku segera berlari membuka pintu dan melihatnya
berdiri di depan pintu dengan wajah sendu sambil memegang susu dan roti
kesukaanku. Oh Tuhan… kini baru aku tahu, tidak ada orang lain yang pernah
mencintaiku lebih dari dia mencintaiku.
:::::.. The Moral Behind of the Story :
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu
telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasakan pasangan
kita tidak dapat memberikan cinta dalam bentuk yang kita inginkan, maka cinta
itu sesungguhnya telah hadir dalam bentuk lain yang tidak pernah kita bayangkan
sebelumnya.
Seringkali yang kita perlukan adalah memahami
bentuk cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan bentuk
tertentu….”KARENA CINTA TIDAK HARUS SELALU BERBENTUK BUNGA”
Jangan mencintai seseorang seperti bunga, karena
bunga mati kala musim berganti. Cintailah mereka seperti sungai, karena sungai
mengalir untuk selamanya. Satu-satunya cara agar kita memperoleh kasih sayang,
ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang
kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan. Jangan karena cinta, kita gugur
dari perjuangan, dan jangan karena cinta juga, perinsip kita menjadi larut dan
cair. Cinta tidak semestinya akan berakhir dengan perkawinan. Kesetiaan akan
mengikat cinta, dan perkawinan akan menjadi indah jika cinta terus bersama.
Read More