Kusadari baru kali inilah aku benar-benar
menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa
yang telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah
dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang
dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku,
mengaburkan pandanganku.
Aku terkesiap berusaha mengusap agar
airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat
semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir
begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri
kedua pipiku.
Peringatan dari imam mesjid yang mengatur proses
pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya
terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak
pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan
vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah
tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak
tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu
bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant
karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk
anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum
ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun
pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari
rumah.Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya agar kami pindah lebih
dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal
teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi.
Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah
yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur
besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku.
Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia, karena mereka tak pernah
tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari
yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang
selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk
bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan.
Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku
sedang ngambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku
berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang,
aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan
sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal
kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan
sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal
karena ia sering bikin berantakan kamar tidur kami, tetapi kini aku
merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal
jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log
out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap
bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka
ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang
tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote
televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan
meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan
remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa
dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga
marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal
meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa
menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi
padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada
suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus
dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan
begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak.
Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk
bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus
kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan
tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya
selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah
yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan
setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor
tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi
bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh
gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga.
Entah
darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu,
sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah
punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama
seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris
memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan
seluruh hasil jerih payahnya selama ini padaku dan anak-anak, ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu
berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena
harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak
adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya
aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau
kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah
menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak
ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan
tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak.
Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat
hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu
untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini.
Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang
lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu,
dan untuk Farhan ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan
jadi anak yang bandel lagi, dan ingat, dimanapun kalian berada, ayah
akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Terakhir kukatakan melalui
surat ini ,aku tahu dan teramat tahu bahwa kamu tak pernah begitu
mencintaiku, namun 1 hal yang kuingin kamu tahu bahwa cintaku padamu
teramat besar melebihi kebencian mu padaku duhai istriku yang cantik.
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang
diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir
tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku.
Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku.
Ketika orangtuaku
dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak
satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Sekarang
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk menghindar, tetapi
sekarang menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.
Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari
cintanya yang begitu tulus.
budayakan like setelah membaca gan