Tanpa disadari terkadang sikap apatis
menyertai saat langkah kaki mengarungi untuk mencoba menaklukan ibukota
negeri ini. Semoga kita selalu diingatkan, sekedar berbagi cerita di
forum orang-orang super dalam keindahan
hari ini. Siang itu 13 Pebruari 2008, tanpa sengaja saya bertemu dua
manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh
keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberagan.
Harmoni, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan dan sepuluh tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam.
Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih Om…!”
Dan saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka. Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki-laik lain itupun menolak dgn gaya yang sama dgn saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka, kantong hitam tempat stock tissue daganggan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan ke arah dalam kantong itu, dua pertiganya terisi tissue putih berbalut plastik transparan. Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayut di langit Jakarta.
“Terima kasih ya Mbak, semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” Tukas mereka, tak lama si wanita meronggoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.
“Maaf, nggak ada kembaliaanya. Ada uang pas nggak Mbak?” Mereka menyodorkan kembali uang tersebut, si Mbak menggeleng. Lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih besar menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
“Om boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” Suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merongoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian Food Court sebesar empat ribu rupiah.
“Nggak punya.” Tukas saya
Lalu tak lama si wanita berkata, “Ambil saja kembaliannya, dik!” Sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi.
Si wanita kaget setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, gak apa-apa ambil saja!”
Namum mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf Mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan!”
Akhirnya uang itu diterima si wanita tersebut karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggam saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om.. tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”
“Eeeeh.. nggak usah, nggak usah, biar aja, nih!” Saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.
Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak satunya, “Nanti dulu om, biar ditukar dulu… sebentar.”
“Nggak apa-apa…, itu buat kalian” Lanjut saya.
“Jangan! jangan om, itu uang om sama Mbak yang tadi juga” Anak itu bersikeras.
“Sudah nggak apa-apa, saya ikhlas, Mbak tadi juga pasti ikhlas!”
Saya berusaha menghalangi, namum ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya.
“Ini deh Om kalau kelamaan, maaf ya.” Ia memberikan saya 8 pack tissue.
“Lho ini buat apa?” Saya terbenggong.
“Habis teman saya lama sich Om. Maaf tukar pakai tissue aja dulu”
Walau dikembalikan ia tetap menolak. Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribuan.
“Terima kasih Om!” Mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup-sayup terdengar percakapan.
”Duit Mbak tadi bagaimana ya?” Suara kecil yang lain menyahut. “Lu hafal kan orangnya, kali aja kita ketemu lagi ntar kita berikan uangnya” Percakapan itu sayup-sayup menghilang. Saya merasa terharu dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan.
Ya Tuhan …. hari ini saya belajar dari dua manusia super. Kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh dan terharu, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra. Mereka tahu hak mereka dan hak orang lain dan mereka berusaha tak meminta minta tapi dengan berdagang tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum aqil balikh, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu sangat belia. Saya membandingkan keserakahan saya, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rejeki kita meski dalam rejeki itu sebetulnya ada hak atau milik orang lain.
Usia memang tidak menjamin kita menjadi bijaksana tapi kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak. `YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO. “ENGKAU HANYA SEMULIA YANG ENGKAU KERJAKAN`
Harmoni, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan dan sepuluh tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam.
Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih Om…!”
Dan saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka. Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki-laik lain itupun menolak dgn gaya yang sama dgn saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka, kantong hitam tempat stock tissue daganggan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan ke arah dalam kantong itu, dua pertiganya terisi tissue putih berbalut plastik transparan. Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayut di langit Jakarta.
“Terima kasih ya Mbak, semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” Tukas mereka, tak lama si wanita meronggoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.
“Maaf, nggak ada kembaliaanya. Ada uang pas nggak Mbak?” Mereka menyodorkan kembali uang tersebut, si Mbak menggeleng. Lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih besar menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
“Om boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” Suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merongoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian Food Court sebesar empat ribu rupiah.
“Nggak punya.” Tukas saya
Lalu tak lama si wanita berkata, “Ambil saja kembaliannya, dik!” Sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi.
Si wanita kaget setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, gak apa-apa ambil saja!”
Namum mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf Mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan!”
Akhirnya uang itu diterima si wanita tersebut karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggam saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om.. tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”
“Eeeeh.. nggak usah, nggak usah, biar aja, nih!” Saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.
Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak satunya, “Nanti dulu om, biar ditukar dulu… sebentar.”
“Nggak apa-apa…, itu buat kalian” Lanjut saya.
“Jangan! jangan om, itu uang om sama Mbak yang tadi juga” Anak itu bersikeras.
“Sudah nggak apa-apa, saya ikhlas, Mbak tadi juga pasti ikhlas!”
Saya berusaha menghalangi, namum ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya.
“Ini deh Om kalau kelamaan, maaf ya.” Ia memberikan saya 8 pack tissue.
“Lho ini buat apa?” Saya terbenggong.
“Habis teman saya lama sich Om. Maaf tukar pakai tissue aja dulu”
Walau dikembalikan ia tetap menolak. Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribuan.
“Terima kasih Om!” Mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup-sayup terdengar percakapan.
”Duit Mbak tadi bagaimana ya?” Suara kecil yang lain menyahut. “Lu hafal kan orangnya, kali aja kita ketemu lagi ntar kita berikan uangnya” Percakapan itu sayup-sayup menghilang. Saya merasa terharu dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan.
Ya Tuhan …. hari ini saya belajar dari dua manusia super. Kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh dan terharu, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra. Mereka tahu hak mereka dan hak orang lain dan mereka berusaha tak meminta minta tapi dengan berdagang tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum aqil balikh, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu sangat belia. Saya membandingkan keserakahan saya, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rejeki kita meski dalam rejeki itu sebetulnya ada hak atau milik orang lain.
Usia memang tidak menjamin kita menjadi bijaksana tapi kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak. `YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO. “ENGKAU HANYA SEMULIA YANG ENGKAU KERJAKAN`
Temukan Kami di Facebook
0 komentar:
Posting Komentar