Suatu hari, ada
seorang pemuda yang sengaja datang ke sebuah negeri untuk bertemu dengan
seorang guru yang dikenal dengan kearifannya. Dengan langkah gontai dan rambut
kusut masai, ia tampak seprti orang yang
tidak mengenal bahagia Setelah bertemu dengan sang Guru, pemuda tersebut
menceritakan masalahnya. Impiannya yang gagal, karir, cinta, dan hidupannya
yang tidak pernah berakhir bahagia. Dia berharap Guru tersebut dapat mencarikan
solusi baginya.
Setelah selesai menceritakan apa yang sedang dihadapinya, sang
Guru, tanpa berkata apa-apa mengambil segenggam garam. Guru tersebut menyuruh
untuk memasukkan garam itu kedalam segelas air, di aduk, lalu meminta pemuda
itu untuk meminumnya. Sejujurnya pemuda itu merasa aneh dengan apa yang
diperintahkan oleh sang Guru. Namun karena dia percaya dengan kebijaksanaannya
maka dia memasukkan garam tersebut kedalam segelas air, mengaduknya dan
meminumnya.
"Aaahh..fuih...wah, asin sekali guru. Bahkan pahit!" Kata pemuda itu sambil memuntahkan kembali air itu dari mulutnya.
Sang Guru hanya tersenyum, lalu kemudian dia mengajak pemuda itu kedalam sebuah hutan. Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh sampailah mereka tepi disebuah danau yang jernih dan tenang. Guru itu kembali memberikan segenggam garam kepada si pemuda.
"Sekarang, silahkan masukkan garam tersebut kedalam danau ini." Perintah sang Guru.
Si pemuda dengan kening berkerut penuh kebingungan melemparkan garam tersebut ke dalam danau. Sang Guru mengaduk air telaga tersebut dengan sepotong kayu sehingga membuat gelombang dan riak kecil. Setelah air danau tenang ia-pun berkata."Nah, sekarang coba kamu cicipi air telaga tersebut dan minumlah!"
Saat anak muda
selesai meneguk air telaga sang Guru bertanya lagi. “Bagaimana rasanya?”
"hmmm... Ini segar sekali rasanya Guru.” Jawab pemuda tersebut.
"hmmm... Ini segar sekali rasanya Guru.” Jawab pemuda tersebut.
“Dan apa kamu
masih merasakan garam di dalam air tersebut? Tanya sang Guru
“Hmmm
sepertinya tidak, sedikitpun tidak ada rasa asin.” Jawab si anak muda.
Mendengar hal
itu dengan bijak sang Guru menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu
mengajaknya duduk berhadapan bersimpuh di depan danau dan berkata, “Anak muda,
pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam. Tidak lebih, dan tidak kurang.
Jumlah dan rasa pahit itu sama dan memang akan tetap sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan akan
sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita miliki. Kepahitan itu selalu
berasal dari bagaimana kita meletakkan segalanya dan itu tergantung pada hati
kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu
hal yang boleh kita lakukan. Lapangkanlah dada untuk menerima semuanya. Luaskan
hati untuk menampung semua kapahitan tersebut. Luaskan wadah pergaulan, supaya
kita mempunyai pandangan hidup yang luas. Maka kita akan banyak belajar dari
keleluasaan tersebut. Hati adalah wadah itu, perasaan adalah tempat itu, qalbu
adalah tempat menampung segalanya. Jadi janganlah menjadikan hati seperti
gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam semua kepahitan itu dan mengubahnya
menjadi kesegaran dan kebahagiaan.
Keduanya lalu
beranjak pulang, mereka sama-sama belajar dari hati. Dan sang Guru yang bijak
tersebut kembali menyimpan segenggam garam untuk anak muda yang lain yang
sering datang kepadanya membawa keresahan jiwa.
0 komentar:
Posting Komentar