Sepasang suami isteri –Seperti pasangan lain di kota-kota besar–
meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan pembantu. Juga Bella, yang diasuh pembantu rumah saat
mereka bekerja. Bella anak tunggal keluarga ini, anak yang cantik, berusia tiga
setengah tahun, sendirian di rumah. Sering dia bermain asyik dengan dunianya
sendiri, diabaikan pembantu yang juga sibuk membersihkan rumah.
Sendiri berayun-ayun di atas buaian yang dibeli Papanya,
ataupun memetik bunga, mengejar capung, di halaman rumahnya yang luas dengan
pagar yang selalu terkunci.
Suatu hari, Bella melihat sebatang paku berkarat. Dia mengambilnya dan mencoret lantai garasi. Tapi, karena lantainya
terbuat dari marmer, coretan tidak kelihatan. Tak putus asa, Bella lalu pindahkan
ke mobil Papa nya, yang baru datang sebulan lalu, mobil mewah berwarna hitam.
Coretannya pun tampak jelas. Bella sangat gembira, tanpa lelah dia tarik
garis-garis putih sepanjang mobil itu, dan dia bayangkan, “Papa dan Mama pasti
akan senang…” Bella tahu, menjelang sore, Papa dan Mama nya pasti pulang,
sehabis menghadiri undangan. Setelah penuh dengan coretan sisi sebelah kanan, lalu
dia beralih ke sebelah kiri mobil. Dia gambar wajah Papa dan Mama nya,
gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lainnya mengikut imajinasinya.
Kejadian itu berlangsung tanpa disadari pembantu rumah.
Sore, saat kedua
orang Bella sampai di rumah, mereka kaget, melihat mobil yang baru dibeli
dengan kredit itu, sudah penuh dengan coretan. Sang Papa, yang belum lagi masuk
ke rumah berteriak penuh amarah , “Kerjaan siapa ini?!”
Pembantu rumah kaget
mendengar teriakan majikannya dan langsung berlari keluar. Dia juga beristighfar.
Wajahnya pucat ketakutan saat melihat wajah marah tuannya. Sekali lagi, dia
mendengar pertanyaan itu, lebih keras, dan dengan gugup, dia menunduk, “Tidak
tahu, Pak…”
“Apa? Nggak tau?!
Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?” hardik si Isteri
lagi.
Bella yang mendengar
suara Papanya, langsung berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia
berkata, “Bella yang membuat itu Papa… bagus kan!” katanya sambil memeluk Papanya,
ingin bermanja seperti biasa. Papa yang hilang kesabaran mengambil sebatang
ranting kecil dari pohon bunga raya di depannya rumahnya, langsung mengambil
tangan Bella dan memukuli telapak tangannya dipukulkannya berkali-kali. Bella
yang tidak mengerti apa-apa,, melolong kesakitan dan ketakutan.
Puas memukul telapak
tangan, Papa juga memukul punggung tangan Bella. Mama cuma diam, karena merasa
Bella pantas mendapatkan hukuman karena kebandelannya. Pembantu rumah
terbengong, tidak tahu harus berbuat apa? Setelah Papa merasa puas lalu dia masuk ke rumah di ikuti Mama dari belakang. Pembantu
rumah langsung menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. Dilihatnya
telapak tangan dan punggung tangan Bella, banyak luka kecil dalam, berdarah.
Pembantu rumah memandikan Bella yang masih menangis. Sambil membersihkan luka
itu, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga terjerit-jerit menahan kepedihan
saat luka-lukanya itu terkena air. Si pembantu rumah kemudian menidurkan Bella
itu di kamarnya. Papa dan Mamanya tidak perduli.
Keesokkan harinya, pembantu
rumah melaporkan kalau kedua tangan Bella bengkak. “Oleskan obat saja!” jawab
tuannya. Pulang dari kerja, dia tidak bertanya lagi tentang anaknya, yang biasa
selalu menyambutnya dengan pelukan. Ia biarkan anaknya di kamar pembantu. Dia
mungkin ingin member pelajaran kepada anaknya. Tiga hari berlalu, tak pernah
sekali pun dia menjenguk si anak. Mama pun sama, hanya sesekali bertanya kepada
pembantu.
“Bella demam, Bu… ” Lapor
pembantunya .
“Kasih minum
panadol,” Jawab tuannya dengan ringkas.
Sebelum masuk kamar
tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat itu dia lihat Bella dalam pelukan
pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. “Biar Bella tahu dia
telah melakukan kesalahan,” Bisiknya.
Masuk hari keempat,
pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Bella terlalu panas.
“Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 tepat.” Kata majikannya itu,
santai.
Sore itu, Bella pun
di bawa ke dokter. Tapi, dokter klinik langsung merujuk ke rumah sakit karena
keadaan yang kian serius. Setelah seminggu di rawat inap, sang dokter memanggil
bapak dan ibu anak tersebut.
“Tidak ada pilihan
lagi,” katanya, dengan suara yang putus asa. Dokter mengusulkan agar kedua
tangan anak itu diamputasi kerana gangren yang terjadi sudah terlalu parah.
“Lukanya sudah bernanah, parah. Demi menyelamatkan nyawanya kedua tangannya
perlu dipotong dari siku ke bawah,” Jelas dokter.
Keduanya langsung
kaget bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia
berhenti berputar. Tapi apa yang dapat mereka katakan. Sang Mama meraung
merangkul si anak. Sedangkan sang Papa
seperti orang gila, seakan tidak percaya dengan apa sedang yang terjadi. Dengan
tangan gemetar dan menangis tersedu-sedan dia menandatangani surat persetujuan
amputasi.
Beberapa saat
kemudian keluarlah Bella dari ruang bedah. Saat reaksi obat bius mulai hilang,
Bella meringis kesakitan. Dia heran melihat kedua tangannya berbalut kasa
putih. Ditatapnya muka Papa dan Mamanya, kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia
mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis.
Dengan menahan sakit, Bella berkata sambil memohon. “
Papa…, Mama… Bella tidak akan melakukannya lagi. Bella tak mau Papa pukul.
Bella tak mau jahat. Bella sayang Papa… sayang Mama,” katanya berulang kali,
membuat sang Mama gagal menahan rasa sedih dan tangisannya. “Bella juga sayang
Kak Narti…” Lanjut Bella sambil memandang wajah pembantu rumahnya. Wajah sang
pembantu itu basah oleh air mata.
“Ampun Papa… tolong
kembalikan tangan Bella. Kenapa sekarang juga Papa ambil. Bukankah tangan Bella
sudah Papa pukul, Bella janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya
Bella makan nanti Pa? Bagaimana Bella mau bermain nanti? Bella janji tidak akan
mencoret mobil Papa lagi.”
“Papa… Bella janji…”
katanya berulang-ulang. sambil tersenyum untuk mengambil hati Papanya, dengan harapan Papa mau mengembalikan tangannya
Serasa copot jantung
sang Mama mendengar kata-kata anaknya. Langsung dia meraung dan merangkul Bella. Lalu Pingsan. Sementara sang
Papa, hanya diam, tidak tau apa yang harus dia ucapkan. Hanya memandangi tangan anaknya, dengan air mata
yang jatuh tak putus-putusnya.
(kisah sejati, dari Malaysia)
0 komentar:
Posting Komentar